Minggu, 05 Desember 2010

makalah kapita selekta pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan dalam percaturan nasional. Pembaruan dalam Islam yang timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa umat Islam pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran.

 

 

1.2  Rumusan Masalah

 

1.      Bagaimana biografi dari tokoh KH. Ahmad Dahlan?

2.      Bagaimana pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam ?

3.      Bagaimana biografi dari tokoh KH. Hasyim Asy’ari?

4.      Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang pndidikan Islam?

 

 

 

 

1.3  Tujuan

 

 

1. Agar mengetahui biografi dari tokoh KH. Ahmad Dahlan

2. Agar mengetahui pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam

3. Agar mengetahui biografi dari tokoh KH. Hasyim Asy’ari

4. Agar mengetahui  pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang pndidikan Islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                             

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

 

 

2.1 Biografi KH. Ahmad Dahlan

 

Muhammadiyah ialah suatu organisasi yang berdasarkan agama Islam, social, dan kebangsaan, sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesian sebelum perang dunia II dan juga sampai sekarang ini. Organisasi atau perkumpulan ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan.

Ahmad Dahlan yang sewaktu mudanya bernama Muhammad Darwis,  lahir tahun 1285 H atau 1868 M di kampung Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang Ulama bernama Abu Bakar bin KH. Sulaiman pejabat khotib di Masjid besar kesultanan Yogyakarta, ibunya adalah putri H. Ibrahim bin KH. Hassan pejabat penghulu kesultanan. Melihat garis keturunannya ini maka ia adalah anak orang yang berada dan berkdudukan baik dalam masyarakat.

Semasa kecilnya Ahmad Dahlan tidak pergi ke sekolah karena orang-orang Islam pada waktu melarang anak-anaknya memasuki sekolah Gubernemen. Sebagai gantinya, ahmad Dahlan diasuh serta dididik mengaji oleh ayahnya sendiri. Kemudian ia meneruskan pelajaran tafsir dan hadits serta bahasa arab kepada beberapa Ulama lain di Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan bantuan kakaknya ( nyai Haji Saleh ), pada tahun 1890 ia pergi ke Mekkah dan belajar disana selama satu tahun. Ide reformasi yang telah meresap dihatinya dengan dasar ilmu-ilmu yang diperolehnya, demikian pula pengalamn keagamaan yang ia alami di Mekkah, mendorong ia melakukan perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin ditanah airnya.

 

2.2 Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan Islam

*      usaha muhammadiyah di bidang pendidikan

  1. dasar dan fungsi lembaga pendidikan

yang menjadi dasar pendidikan muhammdiyah, adalah :

  1. tajdid: kesediaan jiwa berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah cara berfikir dan cara berbuat yang sudah terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan.
  2. Kemasyarakatan : antara individu dan masyarakat supaya diciptakan suasana saling membutuhkan. Yang dituju adalah keselamatan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
  3. Aktivitas : anak didik harus mengamalkan semua yang diketahuinya dan menjadikan pula aktivitas sendiri sebagai satu cara memperoleh pengetahuan yang baru.
  4. Kreativitas : anak harus mempunyai kecakapan atau keterampilan dalam menentukan sikap yang sesuai dan menetapkan alat – alat yang tepat dalam menghadapi situasi – situasi baru.
  5. Optimism: anak harus yakin bahwa dengan keridaan tuhan, pendidikan akan membawanya kepada hasil yang dicita-citakan, asal dilaksanakan dengan penuh dedikasi dan tanggung jwab, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menyimpang dari segala yang digariskan oleh agama islam.

Adapun lembaga pendidikannya berfungsi sebagai :

v  Alat dakwah kedalam dan luar anggota – anggota muhammadiyah. Dengan kata lain, untuk seluruh anggota masyarakat.

v  Tempat pembibitan kader yang dilaksanakan secara sistematis dan selektif, sesuai dengan kebutuhan muhammadiyah khususnya dan masyarakat islam umumnya.

v  Gerak amal anggota : penelenggaraan pendidikan diatur secara berkewajiban terhadap penyelenggaraan dan peningkatan pendidikan itu, dan akan menyekolahkan anak – anak mereka kesekolah – sekolah muhammadiyah.

 

*                                     Penyelenggaraan pendidikan

Muhammadiyah  mendirikan berbagai jenis dan tingkat pendidikan, serta tidak memisah – misahkan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh berkepribadian yaitu : pribadi yang berilmu pengetahuan umum luas dan agama yang mendalam.

Pada zaman pemerintahan colonial belanda, sekolah – sekolah yang dilaksanakan muhammadiyah adalah :

  1. Sekolah umum : taman kanak-kanak (bustanul athfal)veroolg school 2 tahun, schakel school 4 tahun, HIS 7 tahun, mulo 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun. Pada sekolah – sekolah tersebut diajarkan pendidikan agama islam sebanyak 4 jam pelajaran seminggu.
  2. Sekolah agama : madrasah intidaiyah 3 tahun, tsanawiyah 3 tahun, muallimin / muallimat 5 tahun, kulliatul muballigin (spg islam ) 5 tahun.

 

Pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah mempunyai andil, yang sangat besar bagi bangsa dan Negara, dan tentu saja menghasilkan keuntungan-keuntungan diantaranya :

  1. Menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam
  2. Melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah, ide-ide reformasi Islam secara luas disebarkan
  3. Mempromosikan kegunaan ilmu pengetahuan modern

Selanjutnya pada zaman kemedekaan, sekolah Muhammadiyah mengalami perkembangan yang pesat. Pada dasarnya, ada empat jenis lembaga pendidikan yang dikembangkannya, yaitu :

  1. Sekolah-sekolah umum yang bernaung dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu : SD, SMTP. SMTA, SPG, SMEA, SMKK, dsb. Pada sekolah-sekolah ini diberikan pelajaran agama sebanyak 6 jam seminggu.
  2. Madrasah-madrasah yang bernaung dibawah Departemen Agama, yaitu: MI, MTs, MA. Madrasah-madrasah ini ada setelah adanya SKB 3 Menteri tahun 1976 dan SKB 2 Menteri tahun 1984, mutu pengetahuan umumnya sederajat dengan pengetahuan sekolah umum yang sederajat.
  3. Jenis sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah yaitu: Mu’allimin, Mu’allimat, sekolah tabligh dan podok pesantern Muhammadiyah
  4. Perfuruan tinggi Muhammadiyah: untuk Perguruan tinggi Muhammadiyah umum dibawah pembinaan kopertis ( Depdikbub), dan perguruan tinggi Muhammadiyah Agama dibawah pembinaan kopertais ( Depag).

 

*                                          Strategi Pengembangan Pendidikan

 Sistem pendidikan yang dikembangkan adalah sintesis antara system pendidikan Islam tradisional yang berbasis di Pesantern dan system Pendidikan modern. Tujuan akhir yang hendak dicapai ialah menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan umum yang memadai atau istilah yang tren “ Ulama Intelek”.

Sikap Muhammadiyah yang mengambil jalan tengah dalam system pendidikannya, membawa pengaruh atau efek culup luas pada perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia,  yakni menepis budaya “ paternalistic kiai-santri”, melahirkan paham persamaan manusia atau egaliter, serta membawa nuansa baru perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.

 

2.3 Biografi KH. Hasyim Asy’ari

Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan Ulama penganut madhab yang sering menyebut dirinya sebagai golongan Ahlusunnah wal Jama’ah dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama , salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.

Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

 

2.4 Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan Islam

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.

Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.

Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.

Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.

Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.

Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.

Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.

Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.

Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.

Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.

kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.

kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.

Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.

Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.

Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.

ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.

Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.

Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.

Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.

Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.

Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.

Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.

Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.

 

*                                     Penyelenggaraan Pendidikan NU

Sekitar akhir tahun 1938 (1356 H), komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H.

Adapun susunan madrasah-madrasah NU tersebut adalah:

1.      Madrasah Awwaliyah dengan lama belajar 2 tahun

2.      Madrasah Ibtida’iyah dengan lam belajar 3 tahun

3.      Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun

4.      Madrasah Mu’allimin Wustho dengan lama belajar 2 tahun

5.      Madrasah Mu’allimin ‘Ulya dengan lam belajar 3 tahun

Kurikulum yang menjadi acuan pengajaran di madrasah-madrasah tersebut harus sesuai dengan ketentuan PBNU bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan Ma’arif.

Dewasa ini NU bergerak dibidang sosial dan pendidikan agama menurut faham yang diyakini, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. NU mempunyai sekolah umu dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal NU  membentuk satu bagia khusus yang menanganinya, yaitu yang disebut Ma’arif, bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada dibawah naungan NU.

Berdasakan hasil rapat kerja Ma’arif yang diselenggarakan apada tahun 1978, disebutkan tentang program-progranm kerja Ma’arif antara lain :

  1. Pemantapan sistem pendidikan Ma’arif meliputi:

a.       Tujuan pendidikan Ma’arif

1.      Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan-gagaan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah

2.      Menanamkan sifat terbuka, watak mandiri, kemampua bekerja sama dengan pihak lain untuk lebih baik, keterampilan menggunakan ilmu dan teknologi yang kesemuanya adalah perwujudan pengabdian diri kepada Allah.

3.      Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan

4.      Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran Islam sebagai ajaran yang dinamis

b.      Penataan kembali Orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi pencapaian pengetahuan scholastic yang diakhiri dengan pemberian ijazah ke orientasi kemampuan melakukan kerja nyata dibidang kemanusiaan dan kemasyrakatan.

c.       Mengaitkan pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum, lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta, dsb.

d.      Mengembangakan watak cultural ke-NU-an

e.       Secara makro, memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan non formal.

  1. Peningkatan Organisasi Ma’arif
  2. Penyediaan data dan Informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif
  3. Penerbitan
  4. Peningkatan Mutu Guru Ma’arif

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1    Kesimpulan

Dengan gigih mengorbankan jiwa maupun harta melalui organisasi umat Islam, mereka menyumbangkan andil besar dalam perjuangan merbut kemerdekaan. Banyak pahlawan yang gugur alam medan peperangan sebagai kusuma Bangsa. Dari organisasi Islam ini ditumbuhkan dan dikembangkan sikap dan rasa Nasionalisme di kalangan rakyat melalui pendidikan, diantaranya oleh:

  1. KH. Ahmad Dahlan
  2. KH, Hasyim Asy’ari

 

 

3.2    Kritik dan Saran

Dalam pembuatan makalah ini sangat tidak sempurana oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesuksesan dalam pembuatan makalah selanjutnya.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Rekuati, Enung K. 2006. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. CV. Pustaka Setia. Bandung

http://bangsaku.wordpress.com/2007/02/15/biografi-kyai-hasyim-asyari/

http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-k-h-hasyim-asy%E2%80%99ari/

http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan

http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/12/biografi-singkat-1869-1923-kh-ahmad.html

http://f4ni.wordpress.com/2008/05/30/biografi-kh-ahmad-dahlan/

 

 

 

 

 

 

1 komentar: