Selasa, 23 November 2010

makalah dakwah

PEMBINAAN KADER DAN ETIKA DAKWAH ISLAMIYAH

 

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Dakwah Yang Di Bimbing Oleh Dr.H.Masduki, M.A

 

Oleh :

SITI KHUNAINAH              07110036

SHINTA NUR JANNAH     07110037

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

FAKULTAS TARBIYAH

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

OKTOBER 2010

 

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kaderisasi merupakan hal terpenting dalam organisasi. Tanpa adanya kaderisasi, organisasi tidak akan dapat meneruskan eksistensinya. Bisa dibilang, urat nadi sebuah organisasi adalah kaderisasi, sehingga hampir seluruh organisasi memiliki sebuah biro/divisi kaderisasi. Kaderisasi merupakan alat atau cara yang digunakan untuk menanamkan pemahaman/doktrin kepada calon anggota agar mereka dapat mengenal organisasi lebih mendalam sehingga memahami karakteristik, kultur, potensi, arah dan tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi setiap organisasi untuk melakukan sebuah proses kaderisasi.

 

1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pembinaan Kader dan Tahapan – Tahapan Pengkaderan ?

2.      Bagaimana Etika Dalam Dakwah ?

1.3       Tujuan

1.      Agar Mengetahui Tentang Pembinaan Kader Tahapan – Tahapan Pengkaderan.

2.      Agar Mengetahui Etika Dalam Dakwah.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  PEMBINAAN KADER

Kaderisasi merupakan hal terpenting dalam organisasi. Tanpa adanya kaderisasi, organisasi tidak akan dapat meneruskan eksistensinya. Bisa dibilang, urat nadi sebuah organisasi adalah kaderisasi, sehingga hampir seluruh organisasi memiliki sebuah biro/divisi kaderisasi. Kaderisasi merupakan alat atau cara yang digunakan untuk menanamkan pemahaman/doktrin kepada calon anggota agar mereka dapat mengenal organisasi lebih mendalam sehingga memahami karakteristik, kultur, potensi, arah dan tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi setiap organisasi untuk melakukan sebuah proses kaderisasi.

Hal terpenting lainnya adalah tujuan, Bentuk kegiatan dalam kaderisasi sebaiknya yang mendukung kearah pencapaian tujuan kaderisasi tersebut. Misalnya: Tujuan kaderisasi keseluruhan dari sebuah himpunan adalah membentuk kader yang militan, progressive dan revolusioner. Maka, yang harus dilakukan adalah mencari format kaderisasi kearah pencapaian tersebut. Jadi, sebelum kita membuat konsep kaderisasi yang harus kita ketahui adalah mengenal organisasi dan tujuan yang jelas dari organisasi itu sehingga arah yang akan dicapai akan terfokus.

Setelah kita yakin akan dua poin diatas “mengenal jati diri organisasi dan memiliki tujuan pengkaderan yang jelas”, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah memformulasikannya dalam sebuah bentuk kegiatan yang nyata. Sebagai contoh: Kegiatan Ospek, yang sekarang kita anggap tidak lagi relevan, mungkin dahulu merupakan bentuk kegiatan terbaik dari hasil pemikiran dua poin tersebut, sehingga ospekpun dianggap sebagai cara terbaik untuk pencapaian tujuan. Oleh karena itu, pembentukan kegiatan kaderisasi hendaknya dilakukan dengan mempertimbangan perkembangan yang terjadi disekitar kita dan juga bentuk kegiatan sebaiknya merupakan hasil observasi dan analisis dari beberapa organisasi yang sejenis sehingga kita mengetahui setiap kelemahan kegiatan yang akan kita implementasikan

Jangan berharap mendapatkan pola kaderisasi yang terbaik dalam waktu singkat karena penemuan pola kaderisasi yang terbaik bukanlah sebuah proses singkat, melainkan membutuhkan proses yang sangat panjang. Biasanya, pola kaderisasi yang baik didapat setelah mencoba beberapa pola dan melakukan evaluasi terhadap pola-pola tersebut dan pola kaderisasipun adalah sebuah hal yang dinamis, sesuai dengan perubahan zaman.

Kader  yang di harapkan lahir yaitu sebagai berikut :

1.      Tujuan hidupnya hanya mencari ridhlo Allah

2.      Memiliki iman yang boleh melahirkan keikhlasan

3.      Memilki ilmu yang boleh melahirkan amal

4.      Memilki akhlaq yang boleh melahirkan keteladanan

5.      Memilki wawasan kekinian yang boleh melahirkan semangat da’wah

6.      Memahami kurikulum dan silabi da’wah

7.      Mampu membangun ukhuwah untuk boleh melahirkan amal jamai

Perkembangan pola pembinaan masa kini tidak bisa terlepas dari output  yang diharapkan dari kader produk pembinaan yang dilakukan. Media pembinaan yang kita kenal dan sering di aplikasikan di kampus adalah mentoring, yang hampir selalu menjadi ujung tombak dalam pembinaan kader yang kita lakukan. selain itu perangkat mentoring ini biasanya didukung oleh perangkat pembinaan lain seperti outbound, mabit, olahraga, dan diklat. berbagai metode ini tentunya akan di kombinasikan sedemikian hingga dan membentuk sebuah pola kaderisasi yang terstruktur. Pada bagian ini saya ingin sedikit menyinggung bagaimana pola pendekatan yang baiknya kita lakukan sebagai subjek dakwah kepada objek dakwah dalam menyampaikan materi agar terbentuk karakter kader yang kuat.

Saya mendapat konsep ini dari Prof Zuhal ( kekuatan daya saing Indonesia ) , dan saya ingin mencoba menyesuaiakan kosep beliau dalam kontek pembinaan dakwah kampus yang kita lakukan. selama ini kita sering kali terlalu banyak mendominasi agenda kaderisasi kita dengan pola pola konsevensional atau sering saya sebut pola tradisional yang tidak membuat potensi kader berkembang pesat. memang konsep tradisional ini telah banyak mencetak tokoh atau kader yang kuat, tapi menurut pandangan saya, itu bukan karena proses pembinaan yang dilakukan oleh subjek dakwah, akan tetapi itu lebih kepada usaha mandiri kader dalam membina dirinya. Sehingga, pola pembinaan yang dilakukan belum mampu mentransformasikan seorang yang terpendam potensinya menjadi seorang yang mampu mengelola potensinya dengan baik.

Jadi bisa saya simpulkan sementara bahwa, proses kaderisasi yang dilakukan belumlah menyentuh sisi pembentukan karakter. Padahal jika kita memahami kembali kenapa pembinaan ( At Tarbiyah ) dilakukan secara bertahap dan rutin, karena memang manusia perlu waktu untuk berkembang. Berbagai pandanga terntang pembinaan selalu merujuk pada dua kosakata tersebut ( bertahap dan rutin ). Oleh karena itu sebagai perlu kiranya sebagai pelaku kaderisasi atau pembinaan kita memulai mengubah paradigma kita tentang pendekatan pembinaan yang dilakukan.

Secara garis besar, pembinaan yang dilakukan di kampus bersifat pasif, dimana pelibatan objek pembinaan tidak begitu dominan, feed back yang dilakukan tidak dimanfaatkan dengan baik untuk perbaikan. Sentralisasi materi pada narasumber dimana membuat paradigma bahwa mengajar adalah bercerita dan menyampaikan serta belajar adalah mendengarkan dan membaca. Objek dakwah menjadi seorang penghafal materi tanpa aplikasi yang bertahap oleh objek pembinaan.

Monotonisasi media kaderisasi yang hanya mengandalkan media verbal dan sedikit media visual sederhana (buku, tulisan, diktat, dan artikel ) membuat pembinaan yang dilakukan menjadi jenuh dan tidak membuat objek pembinaan tertarik untuk belajar diluar agenda pembinaan rutin, padahal pembinaan mandiri adalah bagian dari pembinaan terintegrasi.

Proses pembinaan terkadang tampak seperti doktrin atau bahkan dogma kepada peserta pembinaan, pemaksaan konsep dan penanaman nilai secara frontal padahal peserta belum siap untuk menerima konsep atau materi yang diberikan. Metode ini seringkali justru membuat peserta pembinaan memilih untuk meninggalkan program pembinaan yang ada, karena masalah ini. Perlu kiranya kita memikirkan pola pendekatan yang membuat peserta lebih aktif dalam menyampaika materi. Semacam role play antara pemateri dengan peserta. Diharapkan dengan adanya perubahan ini membuat peserta lebih dapat berpikir dan menemukan pemahaman materi secara mandiri dengan tingkatan aplikasi yang tinggi.

Dari beberapa pemaparan diatas ternyata berdampak pada minimnya daya kritis kader akan segala hal, budaya diskusi dan debat intelektual jarang ditemui, sehingga pemikiran dan wawasan kader tergolong minim, buku bacaan yang cenderung disamakan dan memilih buku buku yang aman sehingga kader tidak memiliki bacaan komparatif. Dampak besar dari sebab ini adalah karakter kader yang tidak terbentuk secara merata. Hanya kader yang berinisiatif yang mampu berkembang, sedangkan kader yang belum berinisiatif akan tertinggal jauh dari segi pemahaman dan kedewasaan karakter.

Manusia berkarakter akan terbentuk secara baik dalam lingkungan yang kondusif. Seorang insinyur Indonesia akan berdisiplin rendah dalam lingkungan pekerjaan yang membuat ia tidak disiplin, akan tetapi jika ia sudah masuk ke dalam lingkungan kerja yang disiplin, sebutlah di luar negeri, di negara Jepang, ternyata kebiasaan indisiplinernya menghilang. Ia bisa berkompetisi dengan insinyur luar negeri dan bahkan ia menjadi seorang pribadi yang disiplin.

Pola pembinaan yang baik akan membentuk manusia unggul dan manusia unggul akan selalu dapat memperbaiki pola pembinaan yang ada untuk membentuk manusia lebih unggullainnya dimasa yang akan datang. Berhubung kita juga ingin melihat masa depan dakwah yang lebih cerah dan berkembang, maka kader yang dibentuk ini, tidak hanya dapat bermanfaat bagi dirinya dan umat di masa kini, akan tetapi ia juga harus bermanfaat bagi masa depan dirinya dan perbaikan masa depan organisasi dakwah yang membinanya.

Paradigma berpikir kita sebagai subjek kaderisasi tentang kaderisasi itu sendiri adalah hal mendasar yang akan menghasilkan pola kaderisasi yang akan dibangun kedepannya. Dalam siklus kaderisasi ada beberapa hal mendasar yang perlu dipahami, seperti tujuan, output, serta proses yang dijalani. Terkait tujuan kaderisasi adalah transfer nilai kepada objek dakwah dan sebuah proses bertahap dan berkala yang dilakukan kepada objek dakwah dalam upaya memenuhi atau mencapai nilai dan kriteria kader yang diharapkan. Sedangkan output dari kaderisasi ini adalah kader yang berkarakter. Karakter kader tergantung dari nilai dasar yang dianut oleh organisasi. Selanjutnya terkait proses kaderisasi ada 4 tahap, yakni :

1.      Perkenalan ( taaruf )

2.      Pembentukan ( takwin )

3.      Pengorganisasian ( tandhzim )

4.      Pelaksanaan ( tanfidz )

Ada sembilan (9) poin konsep pola pembinaan yang bisa dilakukan dalam membentuk manusia unggul atau kader berkarakter. Konsep pola ini merupakan turunan dari paradigma, output dan materi, dan untuk mengaplikasikannya, kita perlu menurunkan kembali ke metode yang akan dipilih. Pola ini akan berbicara tentang bagaimana kita akan menyampaikan materi. Analogi dari algoritma berpikir kita seperti memberi makan bayi. Paradigma berpikir kita adalah bagaimana seorang bayi bisa tumbuh sehat dan kuat. Maka output yang diharapkan adalah bayi yang gemuk dan lincah, materi yang diberikan berupa susu dan biskuit sereal, dan pola yang kita lakukan, karena objek kita seorang bayi yang belum bisa makan sendiri dan butuh banyak bantuan, maka kita menggunakan pola menyuapinya, sedangkan metode adalah sendok plastik kecil yang cocok untuk bayi.

  1. Binaan Sentris

Objek dakwah bersifat pasif dan subjek dakwah bersifat aktif. Konsep tersebut adalah pola masa lalu dimana mengajar adalah bercerita dan belajar adalah mendengarkan. Kita perlu merevisi konsep ini, walau tidak sepenuhnya salah, tapi konsep ini memang masih relevan untuk beberapa hal. Revisi tersebut akan kita komparatif kan dengan konsep mengajar adalah memicu untuk berbuat dan belajar adalah mencari dan latihan. Dengan analogi ini kita akan menemukan sebuah titik balik dimana objek kaderisasi juga berperan sebagai subjek kaderisasi untuk dirinya sendiri. Dengan bimbingan dan guidance dari mentor atau subjek kaderisasi lainnya. Istilah binaan sentris untuk menggambarkan bahwa inti dari pembinaan adalah binaan itu sendiri, dimana ia dapat mengembangkan potensinya secara alamiah, dan subjek kaderisasi mencoba menstimulus binaan untuk menemukan bakat yang dimilikinya dan memberikan akses dan fasilitas kepadanya untuk mengembangkan diri.

Harapan besar dengan perubahan pola dari pemateri sentris menjadi binaan sentris memberikan dampak positif dalam hal output kader. Kader diharapkan dapat lebih dewasa dan punya auto tarbiyah  dalam dirinya, kesadaran dalam menuntut ilmu, dengan bertanya, latihan, membaca dan mengamalkan materi.

  1. Multimedia

Penggunaan variasi media komunikasi dalam menyampaikan materi dalam era informasi dan komputer sudah seharusnya menjadi bagian dari lifestyle yang dikembangkan dan diterapkan. Begitu pula dalam dunia dakwah yang seharusnya mampu mengembangkan media dakwah yang berdampak besar ( high influence media ) untuk kemajuan dan keberterimaan dakwah. Dalam hal pembinaan, pengembangan multimedia bisa dalam hal pembuatan powepoint slide materi yang akan disampaikan, sehingga mudah dipahami dengan tampilan visual yang menarik. Pemanfaatan media visual lain seperti film atau video klip yang bisa disebarluaskan dengan mudah. Media pembinaan dengan advance media ini juga tidak hanya bermanfaat untuk lingkungan dalam organisasi saja, tapi juga bisa disebarluaskan melalui media internet. Sebutlah slide powerpoint dapat disebarluaskan secara mendunia dengan situs slideshare, sedangkan film dan video klip dapat pula disebarluaskan dalam situs youtube. Slide materi yang ditampilkan dalam media elektronik ini bisa juga disebarluaskan dalam media blog. Sehingga bisa menunjang pola pembinaan berbasis binaan yang memungkinkan kader mencari materi melalui internet. Dampak dari penyampaian multimedia selain impact yang besar dan accesibility terhadap masyarakat luas juga memudahkan binaan memahami materi. Kolaborasi antara film, tulisan dan musik membuat pembinaan akan lebih menyenangkan dan variatif.

  1. Kerja Kelompok

Kader yang berkarakter tentu juga harus memiliki jiwa coorperative  yang baik, ia harus bisa menjadi pemimpin dan staff yang baik. Perlu kita sadari dalam era Globalisasi 3.0 ( the world is flat / friedman ) selain keunggulan kompetitif, seorang manusia juga diharapkan dapat memiliki kemampuan kerjasama yang baik, karena seorang akan lebih dapat unggul jika mampu mempengaruhi lingkungan sekitar dengan intelektual yang dimilikinya. Kemampuan kerjasama ini bisa dibangun dalam pola pembinaan kader di kampus. Pembangunan kebiasaan kerjasama ini bisa dimulai dengan banyaknya focus groups discussion yang terarah. Dengan membiasakan diskusi ini, seorang kader akan terlatih untuk memahami perbedaan dan memanfaatkan persamaan yang dimiliki. Ia akan pula terbiasa untuk memimpin dan dipimpin, ia akan terbiasa untuk mengkritik dan kritik, ia akan terbiasa untuk menerima sebuah hasil dari keputusan bersama dengan lapang dada. Berpikir dan berjiwa besar merupakan dua karakter yang harus dibangun bersamaan, agar seorang kader dapat menjadi seorang unggul yang ber etika. Berbagai penugasan atau belajar bersama bisa dijadikan sebuah metode untuk mematangkan kader dalam teamwork based learning ini.

  1. Pendekatan Dialogis

Membangun komunikasi dua arah dalam pembinaan, tidak sekedar sebatas ada prosesi tanya jawab semata. Tapi lebih kepada membuka paradigma binaan dengan dialog yang dibangun. Mungkin pada aplikasinya kita akan banyak menemui benturan benturan terkait proses dialog ini, karena memang banyak yang tidak menyukai debat sebagai sebuah cara diskusi yang baik. Akan tetapi, jika kita bisa membangun budaya debat intelektual yang baik, maka akan berdampak pada pembangunan daya kritis dan keberterimaan binaan terhadap materi. Memberikan binaan bahan materi yang bisa dijadikan komparasi dari materi yang kita berikan. Sebutlah, untuk membahasa tentang kebenaran Islam, kita tidak bisa hanya menyampaikan dari sisi kebenaran Islamnya saja, bisa jadi kita mengupas secara umum gambaran mengenai agama lain, atau dalam materi Islam memandang ekonomi, pola pembinaan masa depan bukan hanya sebatas memberikan solusi dalam bentuk ekonomi Islam, akan tetapi binaan perlu diberikan konsep pemikiran ekonomi lain seperti kapitalis, atau sosialis agar binaan bisa membandingkan antar konsep yang ada, sehingga ketika ia memahami suatu konsep, ia juga memiliki kemampuan untuk memberikan keunggulan serta kelemahan dari suatu konsep ketimbang konsep lain.

Adanya pendekatan dialogis ini membangun keterbukaan antara binaan dan pembina, keterbukaan adalah sebuah poin penting dalam mempengaruhi orang lain. Selain itu pendekatan dialogis juga akan membangun kemampuan komunikasi dan mengungkapkan sesuatu. Indonesia sudah banyak mencetak orang jenius, akan tetapi kita memiliki kelemahan dalam berkomunikasi suatu pemikiran. Kelemahan ini seringkali justru membuat orang Indonesia menjadi pekerja intelektual bagi negara asing.

  1. Permasalahan Nyata

Pembelajaran berbasis masalah ( problem based learning ), dimana binaan akan mencoba menyelesaikan masalah yang timbul di lingkungannya. Masalah keseharian atau masalah yang sedang dihadapi dengan materi yang diberikan. Masalah ini tidak perlu kita berpikir terlalu global terlebih dahulu, kita coba berpikir hal sederhana dengan posisi binaan sebagai mahasiswa dan seorang anak. Dimana seorang mahasiswa biasanya menghadapi masalah manajemen waktu, konflik organisasi kemahasiswaan, persoalan akademik, atau persoalan perasaan terhadap sesama teman lalu sebagai seorang anak, bagaimana seorang anak bisa berbakti kepada orang tua ketika seorang anak sedang jauh dari orang tua ( indekost ). Untuk yang lebih advance bisa saja mulai membahas permasalahan bangsa Indonesia, kondisi ekonomi Indonesia, transformasi sosial budaya, atau mungkin iklim politik Indonesia. Dengan berbasis masalah nyata, materi yang diberikan akan lebih aplikatif dan binaan akan lebih dapat bisa membayangkan permasalahan yang ada dan bagaimana ia akan menyelesaikannya dengan materi yang diberikan. Pola pembinaan berbasis masalah nyata ini juga akan membuat seorang binaan akan dapat dengan mudah membayangkan dan mengilustrasikan bagaimana sebuah materi itu diperuntukkan. Sehingga, ia akan memahami materi dengan baik. Bagian output terpenting dalam pola ini adalah bagaimana seorang kader dakwah dapat merumuskan sebuah permasalahan. Bukan sekedar secara instan menyelesaikan sebuah masalah.

  1. Pembelajar Aktif

Selama ini kita melihat bahwa kiblat dari peradaban maju ada di bangsa barat, kita melihat bahwa corong opini dunia ada di negara barat, kita juga melihat kumpulan masyarakat yang memiliki pengetahuan ( knowledge society ) juga ada di bangsa barat. Kita sulit melihat bagaimana potensi kita sebetulnya, apakah kita bangsa timur terlalu silau terhadap bangsa barat, ataukan kita terlalu rendah hati sehingga tidak mau mengakui kemampuan diri. Ketika kita mencoba memperhatikan lebih lanjut mengenai karaktek masyarakat barat, pengalaman saya satu tahun sekolah di Amerika memberikan gambaran bahwa masyarakat barat adalah masyarakat yang terbuka ( open minded ) dimana ia sangat menerima perubahan, mereka adala pribadi pribadi yang tidak pernah puas akan pencapaiannnya saat ini, mereka gemar dengan tantangan dan bersedia melewati fase “tidak nyaman” untuk mendapatkan sebuah kesuksesan. Berbeda dengan masyarakat timur, beberapa kali kunjungan saya ke negara Asia, saya melihat bahwa kita ( bangsa timur ) lebih menyukai kenyamanan kondisi ( comfort zone ) saat ini, dan berusaha agar kondisi nyaman ini tidak hilang, meskipun untuk sebuah perbaikan kondisi, masyarakat timur juga lebih mengedepankan keseimbangan antara manusia dengan alam, serta masyarakat timur lebih memiliki nilai religius yang tinggi.

  1. Perumusan Masalah

Ketika kita mengetahui sebuah masalah maka kita secara tidak langsung telah mengetahui solusinya. Akan tetapi seorang kader dakwah tidak dididik sebagai problem solver , ia akan bermanfaat jika ia bisa menjadi problem analyser. Apa perbedaanya ? seorang problem solver adalah seorang yang bisa menyelesaiakan sebuah masalah, akan tetapi tidak bisa menyelesaikan akar masalah, karena ia tidak pernah berpikir apa sebab dari sebuah masalah. Sedangkan, problem analyser adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk merumuskan masalah, mensistematika akar masalah, faktor yang mempengaruhi, proses hingga jadi masalah dan dampak yang diberikan kepada lingkungan setelah sebuah masalah muncul. Ketika seorang problem analyser  bia merumuskan masalah dan menyelesaikan akar masalahnya, bukan masalah itu sendiri, maka tentunya kejadian serupa di masa yang akan datang dapat dicegah. Perlu diingat bahwa masalah adalah dampak dari sebuah proses yang tidak benar, proses adalah bagian dari sistem, dan untuk membuat penyelesaian masalah secara tuntas, maka yang perlu dibenahi adalah proses yang menyebabkan sebuah masalah muncul. Kemampuan analisis masalah inilah yang dibutuhkan untuk ditekankan pada pola pembinaan kader di masa yang akan datang.

Kemampuan atau daya analisis ini bisa di asah dengan studi kasus, dan pengalaman yang panjang, memang akan butuh waktu, peran subjek kaderisasi adalah memberikan kesempatan kepada objek kaderisasi untuk bersentuhan dengan masalah, dan melatih kemampuannya dalam menganalisa sebuah masalah.

  1. Pemikiran Kritis

Kadang pola pembinaan yang dilakukan dalam lembaga dakwah seperti mesin pencetak zombie hidup, saya memang berat menggunakan istilah ini, tapi memang kondisi yang saya lihat seperti itu. Kader tampak hanya menjadi mesin hidup dalam berdakwah, tidak tampak tatapan visioner, perkataan yang berdasarkan pemahaman, dan aktifitas dengan penjiwaan mendalam atas dasar kecintaan. Hal ini diakibatkan adanya pemaksaan konsep dan penyeragaman konsep berpikir dan mencegah kader untuk berpikir diluar sistem atau diluar materi yang diberikan.

Pembunuhan karakter perlahan ini membuat potensi kader sulit muncul, oleh karena itu perlu kiranya ada sebuah pola tersendiri yang memungkinkan kader untuk berpikir sebelum bertindak, dan memungkinkan kader untuk mencari komparasi sebelum menerima sebuah konsep. Pada beberapa kasus seringkali perbedaan pemahaman justru menjadi ancaman bagi organisasi dakwah, perasaan terancam adalah bentuk dari kurang kuatnya pemahaman sebuah konsep berpikir.

 

  1. Menuju Insan Pembelajar

Pada  akhirnya memang pola pembinaan ini akan membentuk sebuah konsep insan pembelajar dimana ia tidak pernah puas terhadap ilmu yang dimilikinya, dan berpikir kritis terhadap lingkungan sekitar, sehingga ia terus berpikir untuk menyelesaikan sebuah problematika yang ada, dan menjadikan keseimbangan kehidupan dan religi sebagai landasan dalam mengambil kebijakan.

Karakter manusia seperti ini akan bermanfaat tidak hanya untuk dirinya, karena human capital  ini adalah modal tidak ternilai dalam perkembangan sebuah organisasi. Organisasi masa depan bukanlah organisasi yang besar karena mempunyai dana besar, akan tetapi sebuah organisasi yang memiliki inkubasi pengetahuan ( knowledge incubator ) yang terepresentatifkan dalam human capital yang unggul. Adanya SDM yang berkompeten serta sistem organisasi yang baik, akan menghasilkan konsekuensi logis berupa benefit dan profit bagi organisasi tersebut.

Bagaimana dampak dari kader yang unggul terhadap peningkatan produktifitas dari organisasi. Saat ini atau bahkan untuk selanjutnya, kader adalah aset termahal bagi sebuah organisasi, karena kader inilah yang akan membangun organisasi. Jika di konversi dalam konteks dakwah kampus, kita memulai dari capital yang dimiliki di awal, yakni kader, dana dan lembaga untuk sarana dakwah. Selanjutnya untuk mendukung pola pembinaan yang ada, setiap aktifitas harus berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek ) dan iman taqwa ( imtaq ), iptek dan imtaq ini akan membentuk kaderisasi berkarakter sesuai harapan. Selanjutnya insan pembelajar yang terbentuk akan melakukan syiar secara masif dan ekspansi pengaruh semaksimal mungkin, hal ini tentunya sebuah peningkatan produktifitas dakwah. Syiar dan ekspansi pengaruh yang kuat akan mampu menarik masyarakat kampus untuk bergabung dalam barisan dakwah yang kita jalani, bertambahnya jumlah kader dapat diartikan sebagai semakin diterimanya dakwah kampus.

Pada dasarnya memang dalam pengembangan pola pembinaan kita akan banyak meniru dari organisasi lain atau pihak lain yang sudah lebih dahulu mapan. Meniru bukanlah hal yang salah tentunya, akan tetapi mudahnya akses untuk mengikuti pola pembinaan ini jangan dijadikan sebagai sebuah excuse untuk tidak mengembangkan pola pembinaan berbasis potensi lokal ( local advantage based learning ) dimana dalam konteks dakwah kampus, memiliki ciri khas kader yang berbeda. Perlu kiranya dalam pola pembinaan ini kita mengikuti pemikiran BJ Habibie dalam membuat N 250, yakni copy to catch up. Meniru untuk mengungguli atau minimal sama di masa yang akan datang. Meniru untuk membuat lebih baik adalah bentuk dari ciri khas masyarakat yang dinamis.

2.2  Etika dalam Dakwah

Dakwah secara harfiyah berarti mengajak atau menyeru. Dakwah merupakan salah satu dari istilah keagamaan yang telah banyak disalahgunakan baik fungsi maupun hakikatnya. Terlebih ketika kata atau istilah tersebut telah menjadi bagian bahasa Indonesia yang dibakukan dan mempunyai makna beragam. Dalam kamus bahasa Indonesia misalnya, kata dakwah diartikan antara lain propaganda yang mempunyai konotasi positif dan dan negatif. Sementara dakwah dalam istilah agama Islam konotasinya selalu tunggal dan positif. Yakni mengajak kepada peningkatan ibadah dan pengabdian pda sang khaliq (dalam arti luas).Bahkan dalam Alquran dan Sunnah merupakan bagian dari prinsip ajaran yang diwajibkan.

Dari realita dan fakta yang ada, ternyata pergeseran makna dakwah hingga mempunyai dua konotasi tidak sedikit disebabkan oleh etika para dainya. Antara lain banyaknya dai yang menempatkan dirinya pada bidang yang bertolak belakang dengan inti maupun substansi amar makruf nahi munkar. Contohnya adalah seorang dai yang menjadi juru kampanye partai politik atau iklan komersil yang dengan kemahiran retorika mengolah ayat atau hadits untuk dijadikan bahan melegitimasi tindakan-tindakan tertentu yang tidak sejalan dengan etika Islam secara umum atau etika dakwah secara khusus.

Karakteristik zaman terus berubah. Zaman sekarang materialisme lebih mendominasi daripada spiritualisme. Individualisme lebih dominan ketimbang kebersamaan. Pragmatisme lebih dominan daripada akhlaq. Betapa banyak rauan dan promosi untuk berbuat kejahatan dan rintangan untuk berbuat kebaikan. Sehingga orang yang berpegang teguh kepada agamanya bagaikan memegang bara api. Nabi menggambarkan dalam sabdanya, “akan datang suatu masa di mana nanti orang yang sabar dalam memegang ajaran agama bagaikan orang yang memegang bara api” HR Tirmidzi.

 

 

  • Pengertian dan Pembatasan Etika

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “Etika” diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk atau ilmu tentang hak dan kewajiban moral. Dalam batasan pengertian itu maka etika bisa duniawi dan bisa ukhrawi. Sebab baik buruknya sesuatu masih perlu bahasan tertentu. Misalnya di mata Si A baik belum tentu di mata Si B.

Sementara pada makna yang kedua, yakni tentang hak dan kewajiban moral meski perlu diurai lebih luas. Namun konotasi umum lebih cenderung kepada “keagamaan”. Secara khusus bila dikaitkan dengan konteks dakwah. Dari pengertian tadi semakin jelas bahwa kajian atau tinjauan kita berkenaan dengan etika dakwah adalah moral umum dalam batasan agama, apa dan bagaimana seharusnya suatu etika dakwah tersosialisasi dalam pribadi dainya secara khusus dan pada lembaganya secara umum.

Membahas masalah etika dakwah bukan masalah sepele atau singkat, sesingkat kita memahami suatu masalah atau membahasnya. Dalam soal dakwah semua acuan kembali kepada teladan tunggal yang ditetapkan Allah untuk dirujuki dalam menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan, baik menyangkut duniawi maupun ukhrawi. Semua contoh yang terbaik itu ada pada diri Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Al Ahzab ayat 21; Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu tauladan yang baik bagi siapa saja yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah .

Ketika umat sepakat dalam bentuk keyakinan bahwa keteladanan dalam hidup dan kehidupan khususnya menyangkut soal keyakinan (agama), semestinya acuan dalam segala hal itu dikembalikan kepada kesepakatan tersebut. Realitas yang ada menunjukan bahwa permasalahannya bukan sekedar mau atau tidak mau mengikuti, tapi jauh lebih komprehensif.

Dengan kata lain, masalahnya justru terletak pada bagaimana memahami siapa contoh tunggal tersebut dan bagaimana menempatkannya pada tempat yang semestinya. Mengapa? karena ternyata contoh tunggal tersebut tunggal adanya dan ketunggalannya itu multi fungsi. Sebagai rasul, sebagai kepala negara, panglima perang, hakim yang memutuskan, dan mufti pemberi solusi berbagai permasalahan. Baik sebagai suami juga sebagai manusia biasa yang memiliki kelebihan. Lebih dari itu Allah menciptakan contoh itu hanya satu dan tak ada duanya. Logikanya, kalau di jamannya tidak ada manusia yang seratus persen sama seperti dia, maka sangat mustahil bila di jaman sesudahnya ada sosok manusia yang seratus persen seperti dia.

Kalau boleh digambarkan untuk memudahkan pemahaman contoh tersebut sosok manusia yang normal, lengkap dengan apa yang diciptakan Allah termasuk memiliki keinginan dan kecenderungan., maka boleh jadi ada manusia di jaman dahulu hingga sekarang yang banyak samanya seperti dia. Boleh jadi Si A mirip dengan teldan dalam berjalan, saat tersenyum, saat berjalan, sementara si B pada keteladanan yang lain, demikian seterusnya.

Dakwah Islam harus mengacu pada ketetapan Alquran secara mutlak. Sementara Alquran telah menetapkan keteladanan tunggalnya. Yakni mengikuti Rasulullah. Mengapa demikian? Karena ternyata akhlaq Rasulullah adalah Alquran seperti yang mashur diriwayatkan secara akurat dalam Alhadits. Pada waktu yang sama, Alquran telah menetapkan keberadaan umat Muhamad adalah umat yang tengah-tengah (moderat) karena seluruh ajarannya dari A hingga Z sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah. Firmannya dalam Surah Albaqarah ayat 143, “dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi sakasi atas perbuatan kamu”.

  • Beberapa Prinsip Etika Dakwah

Berdasarkan itulah, ada beberapa prinsip yang harus dijadikan acuan etika dalam berdakwah.

Pertama, memahami hakikat dakwah dan apa yang diajarkan dengan landasan ilmu yang benar. Hal ini sesuai petunjuk Alquran dalam surah Yunus ayat 108. Bahkan Ibnul Qayyim Aljauziyah ketika menjelaskan ayat 125 dari surat Annahl “serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik ..dst” dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hikmah dan mauizhatil hasanah adalah ilmu sebelum berdakwah, berbelas kasih saat berdakwah, dan bersikap arif setelah berdakwah.

Kedua, etika dakwah yang juga sebagai prinsipnya adalah tidak memaksakan kehendak. Hal ini mengingat ketetapan Allah dalam banyak ayat Alquran surat Yunus ayat 99, “ dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.”

Ketiga, jangan mempersulit masalah dan mengedepankan kemudahan. Hal ini ditetapkan Allah dalam firmannya di surah Albaqarah ayat 185, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

·         Etika Dakwah dan Dialog menurut Dr. Yusuf Qardhawi.

Pertama, harus memelihara hak orang tua dan sanak kerabat. Tidak diperbolehkan menghadapi ayah, ibu, dan saudara dengan cara yang kasar. Seseorang tidak boleh memarahi mereka dengan tuduhan durhaka, bid'ah, atau menyeleweng dari agama. Mereka, khususnya kedua orang tua, mempunyai hak untuk diperlakukan secara lemah lembut. Allah SWT berfirman, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah kedua-nya di dunia dengan baik." (Luqman: 15).

Tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik, kecuali berupaya keras mengubah seorang mukmin menjadi musyrik. Meskipun hal tersebut diupayakan oleh kedua orang tua (terhadap anaknya), Allah SWT melarang sang anak menaati mereka dalam hal ini, namun Dia memerintahkan agar si anak tetap mempergauli orang tua dengan baik. Bila kita menyimak dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan ayahnya yang dilukiskan dalam Al-Qur'an, kita akan mengetahui bagaimana etika seorang anak dalam berdakwah kepada orang tua, meskipun mereka musyrik. Maka apalagi jika orang tuanya seorang muslim yang banyak melanggar ketentuan syar'i, karena selain mempunyai hak sebagai orang tua, juga memiliki hak sebagai seorang muslim.

Kedua, memperhatikan tingkat umur. Tidak seyogianya seorang da'i mengabaikan faktor perbedaan umur mad'u (penerima dakwah) dengan alasan bahwa Islam mengajarkan persamaan. Ia tidak boleh menyamakan gaya pembicaraan terhadap dua kelompok penerima dakwah yang berbeda. Misalnya, antara orang tua dan pemuda. Menyamakan penerima dakwah merupakan tindakan keliru, karena persamaan (egaliterianisme) yang diajarkan Islam adalah dalam masalah kehormatan manusia dan hak-hak asasi universal. Egaliterianisme ini tidak sampai menghalangi hak-hak tertentu yang harus dijaga seperti hak-hak sanak kerabat, rumah tangga, dan kepemimpinan. Salah satu ajaran etika Islam adalah yang kecil menghormati yang besar dan yang besar mengasihi yang kecil. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi anak-anak, tidak menghormati orang tua, dan tidak mengenali orang yang berilmu." (HR Ahmad).

Terlepas dari takwil orang terhadap hadits tersebut, bahaya apa yang lebih besar daripada terlempar dari golongan Rasulullah saw.? Hadits ini diriwayatkan oleh Ahama dari Ubadah bin Shamit, isnadnya hasan dengan lafaz 'Laisa min ummatii', juga diriwayatkan oleh Thabrani dan Hakim. Hadist lain menjelaskan "Di antara penghormatan kepada Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah lanjut usia." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Musa dengan isnad hasan sebagaimana diterangkan dalam Taisiirul Manawi I:347.

Ketiga, memelihara hak orang-orang terdahulu. Kita tidak boleh mengingkari orang-orang terdahulu yang banyak berjasa dalam berdakwah dan menebar ilmu ke seluruh lapisan umat Islam. Tak sepantasnya kita melupakan jasa-jasa mereka dan mencelanya setelah karya-karya mereka mulai kehilangan relevansinya dengan era kontemporer, atau karena sang tokoh tampak mulai lemah meskipun sangat kuat semasa jaya.

Telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. yakni ketika Hatib bin Abi Balta'ah tergelincir ke arah pengkhianatan. Dia telanjur menginformasikan kepada musyrikin Quraisy mengenai persiapan dan kekuatan personil pasukan Islam di bawah komando Nabi saw. yang akan memasuki Mekah kembali, padahal Rasulullah saw. berusaha keras untuk bergerak secara rahasia. Reaksi Umar ibnul Khattab r.a. amat keras terhadap pembocoran informasi tersebut. Ia berkata, "Ya Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, sebab dia benar-benar munafik." Akan tetapi, apa jawaban Rasulullah saw.? Pribadi agung ini bersabda, "Apakah kalian tidak menyadari, semoga Allah memperlihatkan kelebihan peserta perang Badar" dan Dia berfirman, "Lakukan apa saja yang kamu kehendaki, dan aku telah memaafkanmu." Rasulullah saw. memaklumi dan memaafkan kesalahan-kesalahan para pendahulu yang telah berjasa pada Islam, seperti yang dijelaskan dalam pembahasan ini.

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

          Kader  yang di harapkan lahir yaitu sebagai berikut :

1.      Tujuan hidupnya hanya mencari ridhlo Allah

2.      Memiliki iman yang boleh melahirkan keikhlasan

3.      Memilki ilmu yang boleh melahirkan amal

4.      Memilki akhlaq yang boleh melahirkan keteladanan

5.      Memilki wawasan kekinian yang boleh melahirkan semangat da’wah

6.      Memahami kurikulum dan silabi da’wah

7.      Mampu membangun ukhuwah untuk boleh melahirkan amal jamai

          Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “Etika” diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk atau ilmu tentang hak dan kewajiban moral. Dalam batasan pengertian itu maka etika bisa duniawi dan bisa ukhrawi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://benkwit.blog.friendster.com/2005/12/mencari-format-kaderisasi-yang-mumpuni/

http://mokoraden.ifastnet.com/?p=94

http://groups.yahoo.com/group/tanyajawabLDK/message/149

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2056629-arah-pembinaan-masyarakat-perubahan-sikap/

http://www.ukmi-unwidha.cc.cc/s1p_Menjaga_Kualitas_Kader_178362

http://pemudabugis.multiply.com/journal/item/30

http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=29266

http://www.sripoku.com/view/24356/dai_dan_etika_berdakwah

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar